Sunday, October 14, 2012

Jalan Mencapai Sifat Takwa


Di sini cukuplah kita mengutarakan faktor-faktor terpenting yang dapat menyuburkan takwa, mengukuhkannya di dalam hati dan jiwa seseorang Mukmin, dan menyatukannya dengan perasaan, semoga kita dapat mengikuti jejak menuju takwa.
Pertama: Mu’ahadah (Mengingat Perjanjian)
Kalimah ini diambil daripada firman Allah Yang Maha Tinggi;
“Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji…” [An-Nahl: 91]

Cara Mu’ahadah
Hendaklah seorang Mukmin berkhalwat (menyendiri) antara dia dan Allah Subha Nahu wa Taala   untuk mengintrospeksi diri seraya berkata kepada dirinya; “Wahai jiwaku, sesungguhnya kamu telah berjanji kepada Rabbmu setiap hari disaat kamu berdiri di dalam solat membaca;

“Hanya kepada Engkau kami beribadah dan hanya kepada Engkau kami mohon bantuan.” 

Wahai jiwaku, bukankah dalam munajat ini engkau telah berikrar tidak akan menghambakan diri kepada selain Dia. Tidakkah engkau telah berikrar untuk tetap komited kepada siratal mustaqim (jalan yang lurus). Tidakkah engkau telah berikrar untuk berpaling daripada jalan orang-orang yang sesat dan dimurkai Allah?
Kalau memang demikian, hati-hatilah wahai jiwaku. Janganlah engkau langgar janjimu setelah engkau jadikan Dia sebagai pengawasmu. Janganlah engkau mundur daripada jalan yang telah ditetapkan oleh Islam setelah engkau jadikan Allah Subha Nahu wa Taala   sebagai saksimu. Hati-hatilah jangan sampai engkau mengikuti jalan orang-orang yang sesat dan menyesatkan setelah engkau jadikan Dia sebagai penunjuk jalan. 

Kedua: Muraqabah (Merasakan Kehadiran Allah Subha Nahu wa Taala  )
Dasar muraqabah dapat anda temukan dalam surah Asy-Syura, iaitu firman Allah Subha Nahu wa Taala;
“Yang melihat kamu ketika kamu berdiri (untuk solat) dan melihat pula perubahan gerak badanmu di antara orang-orang yang sujud.” [Asy-Syura: 218-219]
Dalam sebuah hadis, ketika nabi SAW ditanya tentang ihsan, baginda menjawab;
“Hendaklah kamu beribadah kepada Allah seolah-olah kamu melihat-Nya, dan jika kamu tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Allah melihat kamu.” 

Makna Muraqabah
Muraqabah sebagaimana diisyaratkan oleh al-Quran dan hadis, ialah; Merasakan keagungan Allah Azza Wa Jalla di setiap waktu dan keadaan serta merasakan kehadiran-Nya dikala bersendirian ataupun dikhalayak ramai.

Cara Muraqabah
Sebelum memulai sesuatu pekerjaan dan disaat mengerjakannya, hendaklah seorang Mukmin memeriksa dirinya, apakah setiap gerak dalam melaksanakan amal dan ketaatannya dimaksudkan untuk kepentingan peribadi dan mencari populariti, ataukah kerana dorongan redha Allah Subha Nahu wa Taala dan menghendaki pahala-Nya?
Jika benar-benar kerana redha Allah Subha Nahu wa Taala, maka teruskanlah melaksanakannya walaupun hawa nafsunya tidak setuju dan ingin meninggalkannya. Kemudian teguhkan niat dan tekad untuk melangsungkan ketaatan kepada-Nya dengan keikhlasan sepenuhnya dan semata-mata demi mencari redha Allah Subha Nahu wa Taala.
Itulah hakikat ikhlas. Itulah hakikat kebebasan diri daripada penyakit nifa’ dan riya’. Iman Hasan al-Basri berkata; “Semoga Allah mencurahkan rahmat-Nya kepada seorang hamba yang selalu mempertimbangkan niatnya. Bila semata-mata kerana Allah Subha Nahu wa Taala, maka dilaksanakannya tetapi jika sebaliknya maka ditinggalkannya.”

Bentuk-bentuk Muraqabah
Ada beberapa bentuk muraqabah;
  1. Muraqabah dalam melaksanakan ketaatan adalah dengan ikhlas kepada-Nya.
  2. Muraqabah dalam kemaksiatan adalah dengan taubat, penyesalan dan meninggalkannya secara total.
  3. Muraqabah dalam hal-hal yang mubah (harus) adalah dengan menjaga adab-adab terhadap Allah Subha Nahu wa Taala dan bersyukur di atas segala nikmat-Nya.
  4. Muraqabah dalam musibah adalah dengan redha kepada ketentuan Allah Subha Nahu wa Taala serta memohon pertolongan-Nya dengan penuh kesabaran.
 Ketiga: Muhasabah (Memeriksa diri)
Dasarnya terkandung di dalam Al-Quran;
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” [Al-Hasyr: 18]

Makna muhasabah sebagaimana diisyaratkan oleh ayat ini ialah; Hendaknya seorang Mukmin menghisab dirinya ketika selesai melakukan amal perbuatan. Apakah tujuan amalnya untuk mendapatkan redha Allah Subha Nahu wa Taala atau apakah amalnya dicemari sifat riya’? 
Ketahuilah, seorang Mukmin setiap pagi hendaklah mewajibkan diri untuk memperbaiki niat, melaksanakan ketaatan, memenuhi segala kewajiban, dan membebaskan diri daripada riya’. Demikian juga dipetang hari, semestinya dikhususkan waktu untuk bersendirian dengan dirinya untuk memperhitungkan semua yang telah dilakukan. Apabila yang dilakukannya itu kebaikan, maka hendaklah memanjatkan puji syukur kepada-Nya atas taufik-Nya, seraya memohon keteguhan dan tambahan kebaikan. Apabila yang dilakukan itu bukan kebaikan, maka hendaklah ia bertaubat dan kembali ke jalan yang lurus, seraya menyesal, memohon ampun, berjanji untuk tidak mengulangi serta memohon perlindungan dan husnal khatimah kepada-Nya.

Semoga Allah Subha Nahu wa Taala meredhai Umar al-Faruq r.a. yang berkata;
“Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab, timbanglah diri kalian sebelum kalian ditimbang, dan bersiap-siaplah untuk pertunjukkan yang agung (hari Kiamat). Di hari itu kamu dihadapkan kepada pemeriksaan, tiada yang tersembunyi dari amal kalian barang satu pun.”

Keempat: Mu'aqobah (Menghukum)
Asas bagi mu'aqobah adalah firman Allah Azza Wa Jalla; 
"Dan dalam qisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, wahai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa." [Al-Baqarah: 178] 

Hukuman yang dimaksudkan sebagaimana yang diisyaratkan oleh ayat tersebut adalah; Apabila seorang Mukmin melakukan kesalahan, maka tidak wajar baginya membiarkannya. Sebab membiarkan sesuatu kesalahan berlalu tanpa melakukan apa-apa akan mempermudah terlanggarnya kesalahan-kesalahan yang lain dan akan menjadikan sukar untuk ditinggalkan. Sepatutnya dia memberikan hukuman kepada dirinya dengan hukuman yang mubah (harus) sebagaimana memberikan hukuman atas isteri dan anak-anaknya. Ini adalah agar ia menjadi peringatan bagi dirinya agar tidak menyalahi ikrar, disamping merupakan dorongan untuk lebih bertakwa dan bimbingan menuju hidup yang lebih mulia.

Kelima: Mujahadah (Melawan Dorongan Nafsu)
Dasar mujahadah adalah firman Allah Subha Nahu Wa Ta'ala di dalam Al-Quran: 
"Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keredhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik." [Al-Ankabut: 69] 

Makna mujahadah sebagaimana disyariatkan oleh ayat tersebut adalah: Apabila seorang Mukmin terseret dalam kemalasan, santai, cinta dunia dan tidak lagi melaksanakan amal-amal sunnah serta ketaatan yang lainnya tepat pada waktunya, maka ia harus memaksa dirinya melakukan amal-amal sunat lebih banyak daripada sebelumnya. Dalam hal ini, harus tegas, serius dan penuh semangat sehingga pada akhirnya ketaatan merupakan kebiasaan yang mulia bagi dirinya dan menjadi sikap yang melekat pada dirinya.

- Itulah beberapa cara untuk menumbuh suburkan takwa dalam hati dan ruh setiap Mukmin serta menyatukannya dengan perasaannya.
Dengan mu'ahadah kita dapat beristiqamah di atas syariat Allah dan dengan muraqabah, kita dapat merasakan keagungan Allah baik di kala bersendirian maupun di khalayak ramai.
Dengan muhasabah kita dapat bebas daripada tarikan hawa nafsu yang selalu memberontak, dan dapat memenuhi hak-hak Allah dan hak-hak sesama manusia.